SEPOTONG CERITA LUKA HATI YANG TERSAKITI

Namaku Sulastri Arif umur 39 tahun ibu dari 3 anak dua kali gagal dalam membina rumah tagga mungkin Sebagian orang akan beranggapan bahwa aku adalah Perempuan yang buruk aku perempun yang mengaggap pernikahan adalah sebuah permainan boleh jadi seperti itu, tapi aku yakin apa yang terjadi semua atas kehendak yang maha kuasa dan pasti dibalik semua ini ada hikmah yang dapat aku petik termasuk berada ditempat ini, disini di Lembaga permasyarakatan lapas Perempuan. Inilah sepotong cerita kehidupanku yang penuh dengan goresan-goresan luka yang penuh dengan air mata bahkan kadang aku berfikir bahwa mungkin tuhan tidak sayang padaku, mengapa kebahagiaan hanya datang dan berlalu begitu saja, sepertinya kebahagiaan tak ingin berlama-lama dengan diriku dan hanya sebagai tamu persinggahan dalam teras kehidupanku.

Dalam pernikahan pertama aku dikaruniai satu orang putra, pernikahan yang tidak dilandasi dengan cinta akhirnya bertahan dengan seumur jagung aku dihadapkan dengan dua perintah rela di madu atau diceraikan tanpa berfikir Panjang aku memilih poin kedua. Perceraian apakah itu egois? Apakah aku pelit dan kikir? Aku tak ingin berbagi suami aku tidak mau merasakan sakit ini rasa cemburu yang terus menerus aku tidak bisa ikhlas untuk dipoligami, aku menginginkan rumah tanggaku tapi ada orang lain yang lebih menginginkannya, aku memilih perceraian mengalah untuk kebahagiaan mereka. Ampuni aku Ya Allah memilih jalan perceraian yang engkau benci. Aku tidak ikhlas untuk berpoligami, tapi aku ikhlas dengan perceraian tanpa beban di hati dan tanpa dendam.

Lanjut cerita aku melanjutkan hidupku bersama dengan putraku, berkerja dan berkarir  dengan kemampuan yang aku miliki mengurus dan membesarkan anakku seorang diri, bertahun-tahun aku jalani menjadi seorang janda aku menutup hati untuk menerima dan menjalin cinta mungkin karena trauma dengan kegagalan. Hingga pada suatu hari aku bertemu dengan seorang laki-laki dan laki-laki itu yang mampu mengetuk dan membuka pintu hatiku yang selama bertahun-tahun aku tutup rapat, mungkinkah dia jodohku yang terbaik? Yang bisa mendampingiku dunia dan akhirat? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Selama kami menjalin hubungan aku selalu meminta kepada Allah dalam setiap sujudku aku memohon petunjuk jika ia lelaki terbaik untukku maka dekatkanlah ia padaku, tapi jika ia bukanlah lelaki terbaik untukku maka jauhkanlah. Singkat cerita satu tahun masa perkenalan kami laki-laki itu melamarku dan akhirnya kami menikah, dalam soal karir kami sejalan dan kami sama-sama pernah gagal dalam berumah tangga, tapi ia tidak memiliki anak dari kegagalannya meskipun demikian ia menerima dan menganggap putraku sebagai anak kandungnya.

Seiring berjalannya waktu kami menjalani pernikahan kami dengan bahagia rumah tangga kami hampir sempurna meskipun diusia pernikahan kami yang kedua tahun, kami baru dikaruniai seorang putri cantik, karir kami pun semakin baik hingga kami membuka usaha sendiri bekerja sama dengan kantor Perusahaan tempat kami bekerja, aku dan suamiku bekerja dengan kantor dan Perusahaan yang berbeda tapi kami adalah kompotitor jenisnya sama dengan merk yang berbeda, tapi kami tidak pernah mempermasalahkan bahkan kami saling mendukung dalam target penjualan kami, usaha yang kami buka diluar dari Perusahaan tempatku bekerja kami percayakan kepada salah satu teman kami, singkat cerita usaha itu hanya bertahan dua tahun disaat pernikahan kami berusia 4 tahun, usaha bangkrut dan tak dapat diselamatkan teman yang ku percaya untuk menjadi nahkoda Perusahaan entah kemana bagai ditelan bumi.

Aku memilih mundur dari Perusahaan tempatku bekerja, dengan alasan untuk mengambil alih dan menyelesaikan masalah yang menumpuk dalam perusahaanku aku mengaudit seluruh transaksi perusahaan selama satu minggu dan betapa terkejutnya  hutang Perusahaan yang tertinggal begitu banyak disbanding piutang yang ada inilah awal dari masalah besar yang harus aku hadapi mau tidak mau aku harus bertanggung jawab dan suamiku hanya bisa pasrah dan tak dapat berbuat apa-apa, pada waktu itu aku dalam keadaan hamil 4 bulan anak ketiga kami. Anak ketigaku seorang laki-laki disaat umurnya 8 bulan aku resmi jadi tersangka dengan pasal penggelapan dan penipuan karena hutang yang tidak dapat dibayar lagi akhirnya aku dan suamiku dilaporkan, tapi aku tidak mau terima dan menolak laporan atas suamiku karena yang bertanggung jawab dan pemilik Perusahaan adalah aku, alhamdulillah dari pihak kepolisian mengabulkan.

Semua aset yang kita punya sudah habis terjual untuk membayar hutang yang lain sehingga kami tidak punya apa-apa lagi, sambil menunggu hasil penyidik dari kepolisian aku mempersiapkan segala hal untuk keluargaku suamiku dan ketiga anakku akan tinggal dimana? Ini semua salahku bahkan aku pernah mencoba untuk mengakhiri hidupku kondisi jiwaku yang tidak stabil, stres, pikiranku kacau, semua tercampur aduk rasa malu yang akan ditanggung keluargaku terutama kedua orang tuaku, ya allah apakah ini teguran? ataukah ujian bagiku?. Betapa sulit untuk ku ungkapkan dengan kata-kata perasaanku pada saat itu ibuku meninggal dua bulan sebelum aku resmi jadi tahanan kepolisian aku tidak berada didekatnya di saat-saat terakhir hidupnya. Ibuku yang selalu membanggakanku, membimbingku tentang agama yang selalu ada disaat aku butuhkan, kekuatan disaat aku roboh, mengajarkanku mengenal rasa iman, menuntunku mengukir dunia, meyakinkanku tentang ke ikhlasan ibu aku akan mengingat nasehat-nasehatmu, semoga kita bertemu disurga nanti ibu Amiinn.

Di saat aku resmi jadi tahanan kepolisian aku mengatur keluargaku termasuk suamiku dan anak-anakku, menurutku mereka sudah diposisi aman meskipun mereka aku terpisah aku akan meninggalkan mereka dalam jangka waktu lama dan tidak pasti. Yang paling menyakitkan adalah kedua anakku yang masih kecil, yang masih sangat membutuhkanku apalagi anak ketiga yang baru berusia 8 bulan yang masih menyusui dan tiba-tiba harus aku tinggalkan. Ya Allah kuatkan aku untuk melangkahkan kakiku pergi meninggalkan keluargaku.

Bahkan untuk menatap anak-anakku saja aku tak sanggup, tatapan putra putriku yang menyayat hatiku akan seperti apakah anak-anakku tanpaku, bahkan dalam seharian pun aku tak bisa lama untuk jauh dari anakku. Anakku permata hatiku aku tidak ingin mengeluarkan air mata didepan mereka, maka dengan sekuat hatiku aku menahan air mata agar tidak tumpah, sakit sekali Ya Allah engkau tidak akan memberikan cobaan kepada hambamu diluar dari batas kemampuannya. Tapi masih melintas dalam benakku seandainya hari ini tiba-tiba ada gempa dan tsunami mungkin lebih baik agar keluargaku tidak menanggung malu dan jika aku mati setidaknya aku tidak merasakan yang namanya penjara, astaghfirullah.

Akhirnya aku melangkahkan kakiku pergi bersama pihak kepolisian yang menjemputku, sejenak sebelum meninggalkan mereka aku mencium anak-anakku dan berharap ini bukan ciuman terakhir dari seorang ibu , tanpa kata-kata tanpa tangisan tapi dalam setiap nafasku aku melafalkan surah Al-Fatihah terus menerus, bershalawat, dan terus bertasbih kepada Allah aku yakin dengan janji Allah dalam surah Asy-Syarh ayat 6 yang artinya ‘’sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan’’ Ya Allah tetapkanlah hatiku untuk selalu beriman kepadamu, dan rahmatilah aku dalam menjalani hukuman ini, lindungilah suamiku dan anak-anakku dan pertemukanlah kami kembali dalam keadaan baik Amiinn.

Dari hari ke hari terasa berat menjalani proses hukuman berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan aku menjalani dengan memantapkan hatiku untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, aku ikhlas atas segala keputusan hakim bagiku inilah jalan untuk menggantikan seluruh amalan-amalan yang aku lalaikan diluar sana, inilah saatnya menabung untuk urusan akhirat nanti. Disaat 6 bulan lamanya aku tinggalkan suamiku dan anak-anakku, tiba-tiba aku menerima surat pemberitahuan dari pengadilan agama apakah aku bermimpi? Tidak ada angin tidak ada hujan tapi bagai disambar petir disiang hari ini bukan mimpi, ini nyata tak lain isinya adalah surat gugatan cerai yang ditujukan untukku dari suamiku.

Ya Allah adilkah ini untukku? Disaat aku terpuruk didalam penjara engkau memberikan cobaan yang bertubi-tubi ya allah, aku tidak punya daya ataupun tidak mengerti alasan dari gugatan perceraian ini jika aku menanyakan kepada suamiku, jawablah biarlah ‘’aku kamu dan allah yang tahu’’. Inilah takdirku jatuh tertimpa tangga jatuh lagi dilubang yang sama, sepertinya hidupku sudah kenyang dengan ujian, cobaan, air mata, disakiti, kecewa, mungkin semua rasa itu sudah bersahabat dengan hidupku, bisa jadi aku semakin kuat dan tegar karena seringnya Allah memberiku cobaan.

Hingga sampai waktunya ditempat ini disini dilapas Perempuan aku semakin memantapkan hatiku untuk terus menjadi lebih baik dan tetap menjadi orang yang baik, tetap tersenyum, walau hati terluka, jodoh, rezeky, allah yang mengaturnya. Aku ingin seperti lilin rela hancur demi menerangi orang lain, aku juga ingin seperti daun yang jatuh, tapi tak pernah membenci angin, terkadang jalan yang penuh liku dan terjal akan membawa kita menuju ke suatu tempat yang paling indah.

‘’Inilah Suara Hatiku’’

Dalam kesunyian malam aku bertafakur memohon ampun atas dosa yang lalu

Dalam jeruji besi kucurahkan tangisku pengakuan atas dosa dan salahku

Tuhan ampuni aku yang sering lupa padamu

Ampuni aku yang telah lalai menjalani perintahmu

Begitu banyak dosa yang telah ku perbuat

Begitu banyak amalan yang telah kulewatkan

Begitu banyak nikmat yang tidak aku syukuri

Hingga sampai ditempat ini aku tersadarkan

Sungguh aku jauh darimu

Tuhan kini aku datang bersimpuh dihadapanmu

Memohon ampunan dari pintu taubat terbuka untukku

Janganlah engkau sisakan dosa sekecil apapun bagiku

Melainkan engkau ampuni semuanya

Tuhan kukuhkanlah imanku, ampuni kesalahan-kesalahanku

Dan jadikanlah sebaik-baik di akhir usiaku

Amiinn

Untukmu bapak dari anak-anakku terimakasih atas keputusan yang kau berikan, terimakasih telah menemani hidupku selama beberapa tahun memberiku warna, memberikan kebahagiaan bersama anak-anak kita, kau pergi disaat aku terjatuh, kau menoleh tapi tidak menganggapku, kau selamatkan aku dari lubang tapi kau lempar aku hingga sampai kedasar jurang, kau menarikku dan mengajariku mengarungi Samudra, tapi pertengahan jalan kau mendorongku kedalam lautan. Demi kehormatan dan harga dirimu kau biarkan aku terombang ambing, dibentang luas Samudra yang selalu terhampas kebatu karang terombang-ambing gelombang badai. Tuhan benarkah ini ujian bagiku? Semoga suatu hari nanti aku mendapatkan jawabannya, terimakasih atas segala kebaikannya, biarlah aku seperti ini, disini menghitung hari, hingga pada saatnya nanti aku pulang, titip rindu untuk anak-anakku.

Inilah sepotong luka cerita hati yang tersakiti, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membacanya, cerita ini saya tulis berdasarkan pengalaman hidup penulis

Penulis : Sulastri Arief

Fasilitator : Rosnani Nuisa